Di warung kopi desa, obrolan sederhana bisa terdengar: “Kalau pajak saja bisa dikorupsi, apa lagi yang aman?” Pertanyaan polos itu sesungguhnya refleksi kegetiran rakyat. Karena mereka sadar, korupsi bukan sekadar angka, melainkan luka yang mengendap di keseharian.
Empat pendamping desa itu mungkin merasa cerdas ketika bisa menipu sistem. Tapi sejatinya, mereka hanya mempertebal daftar panjang orang-orang yang merusak negeri dari dalam. Korupsi bukan lagi monopoli elit di Senayan atau pejabat kementerian. Dari pendamping desa, staf kecamatan, hingga birokrat kelas atas, semuanya bisa saja tergoda oleh bau uang.
Dan setiap kali uang rakyat digerogoti, yang dirampok bukan sekadar anggaran, melainkan juga kepercayaan publik. Ketika rakyat sudah tak percaya lagi bahwa pajak mereka dikelola dengan jujur, itulah saat negara benar-benar kehilangan pondasinya.