RADARCIREBON.TV – Tidak semua keberanian berbunyi nyaring. Sebagiannya justru berjalan dalam diam, menempuh jarak jauh, menahan lelah, dan tetap melangkah ketika keadaan tak memberi jaminan apa pun selain ketidakpastian.
Di jalan sunyi itulah Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati (FK UGJ) kini berada, mereka bergerak menuju jantung bencana di Sumatera.
Hingga hari ini, rombongan FK UGJ masih berada di Pulau Sumatera.
Baca Juga:Viral! Calvin Verdonk Kirim Bantuan ke Bencana Sumatera Tanpa Pamer, Warganet: Respect KingKepala BNPB Minta Maaf Sebut Bencana Sumatera Hanya Mencekam di Sosmed
Tim medis yang terdiri dari dokter pengajar, mahasiswa kedokteran, dan civitas akademika FK UGJ terus menempuh perjalanan menuju Tapanuli Tengah dan wilayah sekitarnya. Bukan sekadar perjalanan geografis, melainkan perjalanan batin, dari ruang akademik menuju ruang kemanusiaan yang sesungguhnya.
Mereka berangkat dengan kesadaran penuh bahwa medan tidak ramah, waktu terbatas, dan kebutuhan di lokasi tak bisa menunggu. Dari Cirebon, rombongan menempuh jalur udara menuju Medan. Dari sana, perjalanan darat selama kurang lebih sembilan jam membawa mereka ke Desa Tukka, jalan panjang yang seolah menguji keteguhan niat di setiap tikungan.
Di dalam kendaraan yang melaju perlahan, tersimpan lebih dari sekadar logistik. Ada obat-obatan, perlengkapan medis, dan bantuan yang dihimpun dari masyarakat. Namun yang paling berat sekaligus paling berharga adalah tekad: memastikan bahwa bantuan itu tiba bersama kehadiran, sentuhan, dan perhatian manusiawi.
Ketua Tim Delegasi FK UGJ, Donny Nauphar, BSc, M.Si.Med menyebutkan bahwa tim yang berangkat berjumlah 10 orang. Komposisinya lengkap, ketua tim, tiga dokter umum, apoteker, perawat, analis kesehatan, serta tiga mahasiswa kedokteran. Formasi ini disiapkan bukan hanya untuk bekerja, tetapi untuk bertahan dan hadir sepenuh hati di situasi darurat.
“Kami ingin kehadiran FK UGJ menjadi penguat dan harapan. Bukan hanya melalui layanan medis, tetapi melalui keberadaan kami di tengah masyarakat yang sedang diuji,” tuturnya.
Bagi para mahasiswa yang ikut serta, perjalanan ini bukan sekadar pengabdian lapangan. Ia adalah ruang belajar yang tak tertulis di silabus. Di sini, ilmu tak lagi berbentuk teori, melainkan keputusan cepat, empati, dan keberanian untuk tetap tenang di tengah keterbatasan. Mereka belajar bahwa menjadi dokter bukan hanya tentang menyembuhkan tubuh, tetapi menjaga martabat manusia.
