Untuk melestarikan hutan dan mensukuri nikmat apa yang telah dikaruniakan Tuhan Sang Pencipta kepada makhlunya, masyarakat di wilayah pegunungan di Kabupaten Brebes, melakukan upacara adat ngasa yang dilakukan setahun sekali yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam, ini sejarahnya.
Warga Desa Gandoang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, setiap setahun sekali melakukan upacara adat yang dinamakan ngasa. Yang dilakukan di puncak gunung sagara, di gunung ini kondisi hutannya masih lestari dan penduduknya sangat menjaga kelestariannya.
Upacara adat ngasa ini ternyata sudah dilakukan penduduk Desa Gandoang pada ratusan tahun silam, hal ini disampaikan oleh Muhammad Sopan sebagai pamong budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Kabupaten Brebes, ketika menyampaikan sambutan untuk mewakili kepala dinasnya yang tidak bisa hadir karena tugas di luar daerah.
Baca Juga:Warga Buang Sampah SembaranganRenovasi Masjid Jami Al Hidayah Selesai 2024
Muhammad Sopan mengatakan, teks gunung sagara merupakan hasil catatan perjalanan Bupati Brebes Kanjeng Adipati Aria Tjandranegara ke lima yang menjabat pada tahun 1880 hingga 1885 yang melakukan kunjungan kerja ke wilayah Brebes selatan khususnya distrik Bantarkawung dan Salem tahun 1882. Hasil catatan perjalanan itu dituliskan kembali oleh Frederick Karel Holle pada tahun 1829-1896 dan dimuat di jurnal Tidjschrift Indische Taal Land En Volkenkunde tahun 1884.
Teks gunung sagara yang ditulis dalam bahasa Belanda sangat penting bagi masyarakat Kabupaten Brebes, khususnya wilayah yang berada di kaki gunung sagara yang merupakan bagian dari pegunungan kendeng utara.
Catatan itu menukilkan tentang deskripsi morfologi wilayah Bantarkawung dan Dalem dan kawasan perbatasan di sekitarnya pada akhir abad 19 sekaligus keunikan budaya dan potensi ekonomi di wilayah tersebut.
Terdapat bukti silang budaya antara sunda, hindu dan islam yang mengemuka dalam tradisi upacara ngasa gandoang yang sampai sekarang masih berlangsung selain di Jalawastu. Dalam teks goenoeng sagara meriwayatkan proses pelaksanaan upacara ngasa dan teks yang dibacakan serta beberapa pengetahuan terkait genealogi masyarakat gunung sagara yang mengklaim keturunan Batara Windu Sakti Buwana dan Guriang Buntutan.
Pada akhirnya naskah goenoeng sagara sebagai naskah manuskrip kuno mewujudkan literasi yang memiliki nilai penting tidak hanya dokumentasi pengetahuan budaya dan kesejarahan, namun lebih dari itu merupakan kodifikasi soal ritus, adat dan tradisi yang jejaknya masih ada sekaligus sebagai bukti sejarah warisan budaya yang tak ternilai.