Adapun mengenai sahnya perkawinan tertulis dalam Pasal 2 Ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Maka selama pernikahan berlangsung sesuai dengan agama yang di anut, maka pernikahan tersebut dianggap sah secara hukum, baik pernikahan tersebut di laksanakan di hadapan petugas yang di tunjuk oleh undang undang maupun tidak (siri atau di bawah tangan).
Baca Juga:Hukum Melaksanakan Nikah Siri, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?Tak Perlu Antre! Ini Cara Pesan Tiket Kereta Untuk Lebaran 2023
Namun yang menjadi persoalan, terkait pembuktian adanya pernikahan tersebut, yang menurut aturan perundangan hanya dapat di buktikan dengan Kutipan Akta Nikah, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Kutipan Akta Perkawinan oleh catatan sipil.
Sehingga, saat sebuah pernikahan tidak di laksanakan di depan petugas yang di tunjuk, maka akan kesulitan terhadap pembuktian pernikahannya, sebab tidak tercatat pada institusi yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan UU yang berlaku”.
Dampak Nikah Siri
Selain dampak yang paling jelas mengenai tidak mendapatkannya akta nikah dari instansi berwenang, hal ini juga ternyata memiliki dampak lainnya yang negatif.
Di antaranya seperti
- Tidak adanya kejelasan status wanita sebagai istri siri.
- Akan ada banyak kasus poligami terjasi.
- Pelecehan terhadap wanita sangat mungkin terjadi imbas pelampiasan nafsu sesaat kaum lelaki
- Pihak wanita tidak memiliki kekuatan hukum jika terjadi sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan yang semestinya ada di pernikahan. Seperti halnya untuk menuntut perceraian kepada suami.
Itulah pengertian, ciri serta bagaimana dampak nikah siri bagi seseorang yang memilih jalan tersebut. Wallahu a’lam.