Lingga Nugraha, Empu Muda Pembuat Keris yang Lahir Kembali Setelah Vakum 200 Tahun

Empu Lingga Nugraha dari Cirebon
Salah satu praktisi keris, Empu Lingga Nugraha berharap generasi muda aktif untuk melestarikan kekayaan Nusantara diantaranya Keris
0 Komentar

Dibentuk Api, Dijiwai Doa Nilai Keris yang Melewati Zaman

RADARCIREBON.TV – Keris bukan sekadar senjata. Ia adalah “tosan aji”, atau logam mulia yang memiliki nilai spiritual, simbolik, dan warisan budaya.

Karena alasan-alasan inilah keris tidak hanya dianggap sebagai benda, tapi sebagai pusaka—yakni benda warisan yang mengandung makna sakral dan kekuatan warisan leluhur.

Dalam budaya Nusantara, terutama di Jawa, Madura, Bali, dan sebagian Sumatra, satu Suro atau satu Muharram di nilai menjadi waktu paling tepat untuk mencuci dan menjamas pusaka.

Baca Juga:Tradisi Jamasan Pusaka Pada Momen Satu Suro – VideoAmalan dan Doa Malam Satu Suro Agar Dijauhkan dari Musibah!

Seperti yang terlihat dilakukan, Lingga Nugraha, warga Asli Cirebon yang merupakan lulusa ISI Surakarta dari Fakultas Senirupa dan Desain Jurusan Keris saat ditemui Radar, kemarin.

Menurut dia, 1 Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa (yang sinkretik antara Islam, Hindu, dan kepercayaan lokal). Ini setara dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Tapi dalam tradisi Jawa, 1 Suro lebih dari sekadar pergantian tahun—ia adalah malam sakral, malam hening, dan malam “pembersihan” spiritual.

“Keris dan pusaka dipercaya bukan benda mati. Ia diyakini menyimpan “isi” energi, tuah, atau niat dari sang empu dan pemilik,”ujarnya.

Selain itu kata dia, ritual tersebut untuk menghilangkan aura buruk atau kotoran batin, menyelaraskan pusaka dengan pemiliknya kembali, menyucikan niat dan harapan memasuki tahun baru Jawa.

“Dicucinya bisa menggunakan air kelapa, jeruk, dan bisa menggunakan bahan lainnya, kalau minyaknya saya pakai minyak cendana,”imbuhnya.

Dalam tradisi Jawa dan Nusantara, keris memang berbentuk seperti senjata—tajam, runcing, dan kadang digunakan untuk bertarung. Namun, secara fungsi, keris lebih luas dan kompleks: ia bukan hanya alat menyerang, tapi simbol status, perlindungan spiritual, cermin kepribadian, hingga media doa. Keris bisa menjadi apa saja, tergantung siapa pemilik dan tujuannya.

Baca Juga:Pembukaan Pameran Keris Dan Bursa Tosan AjiKeris Pandawa Cinarita Miliki Panjang 70 Cm Lebih

Keris adalah pusaka yang tidak dibuat sembarangan. Dalam banyak kasus, keris dipesan secara khusus oleh seseorang—seorang raja, bangsawan, prajurit, atau rakyat biasa. Saat memesan, calon pemilik biasanya menyampaikan

Tujuan pembuatan (perlindungan, kewibawaan, penolak bala, spiritualitas) Nama diri, tanggal lahir, weton (perhitungan hari).

Walaupun keris adalah senjata secara bentuk, fungsinya jauh melampaui itu. Dalam budaya Jawa dan Nusantara, keris digolongkan sebagai “tosan aji” (logam berharga), bukan sekadar senjata tempur.

“Dari sinilah empu (pembuat keris) akan membuat keris yang “selaras” dengan pemesan, baik secara pamor, bentuk, maupun energi,”bebernya.

Lingga sendiri mengaku sudah membuat beberapa keris berdasarkan metode dan cara yang digunakan oleh para pendahulu berdasarkan keilmuan yang dapat selama kuliah.

Ia memperlihatkan keris Dhapur Bima Kurdha yang ia buat selama 4 bulan. Dengan pamor yang dibuat dengan rujukan pakem Cirebon sekitar 500 tahun lalu.

“Jadi walaupun keris baru tapi dibuat dengan nilai-nilai pakem yang sudah ada sekitar 500 tahun lalu. Ini handlenya Buta Bajang dan werangka perahu kandas,”ungkapnya.

Nilai sebuah keris kata Lingga memang tidak ditentukan semata-mata oleh bentuknya, tetapi ditentukan oleh bahan logamnya, proses pembuatannya, tujuan atau niat spiritualnya, serta siapa empu pembuatnya.

Karena itulah “keris” memiliki kelas atau “grade” yang sangat beragam—mulai dari souvenir biasa hingga karya sakral bernilai sangat tinggi.

Nilai keris ditentukan dari beberapa hal yakni Semakin langka dan alami, semakin tinggi nilainya. Jika dari proses pembuatan jika melalui tirakat, puasa, dan teknik tempa tradisional, keris dianggap “berisi”.

Selain itu, Empu pembuatnya adalah Empu legendaris atau yang punya garis keilmuan tinggi memberi nilai spiritual ekstra.

Tujuan pembuatan, Keris pesanan pribadi untuk perlindungan, jabatan, atau wirid memiliki aura dan nilai lebih. Usia dan sejarah: Semakin tua dan punya riwayat pemilik penting (raja, bangsawan, tokoh), semakin pusaka nilainya.

Diterangkan Lingga, berdasarkan liteatur yang ia ketahui bahwa pada awal abad ke-19, Perang Kedongdong (diperkirakan sekitar tahun 1818–1820-an) meletus—sebuah konflik berskala lokal di Cirebon antara laskar-laskar lokal dan kekuatan kolonial Belanda serta para sekutunya.

Untuk meredam pemberontakan dan menjaga stabilitas, pemerintah kolonial melakukan kebijakan yang drastis namun fatal untuk budaya lokal:

“Semua kegiatan pembuatan senjata tradisional dilarang. Empu dilarang menempa. Bengkel besi rakyat diawasi dan ditutup. Pusaka dilarang dibawa terbuka, bahkan sebagian dirampas.

Inilah awal dari terputusnya garis keilmuan empu Cirebon, berarti sekitar 200 tahun lebih vakum,”jelasnya.

Kini, setelah lebih dari 200 tahun, muncul semangat baru untuk menghidupkan kembali seni tempa keris dan empu Cirebon. Upaya ini bukan nostalgia. Ini adalah rekonstruksi budaya yang terputus, sebuah restorasi DNA kebudayaan. (dri)

0 Komentar