Sejarah Sandiwara Cirebon Indramayu

sandiwara seni budaya
sandiwara seni budaya
0 Komentar

INDRAMAYU, sebuah fenomena budaya paling unik di Pantai Utara Jawa Barat. Di daerah ini ratusan kesenian tradisional tumbuh subur bersama masyarakat agraris (rural) dan urban yang ada di dalamnya. Perjalanan panjang sebuah sistem budaya yang merupakan persilanagan antara berbagai budaya di Tanah Air dan mancanegara. Dalam perjalanan sandiwara rakyat – sebagian masyarakat pantura menyebutnya “masres” – berawal dari keinginan berekspresi masyarakat perdesaan yang agraris.

Sandiwara Budaya Yang Harus Lestarikan ???

 masa kolonial, berkembang seni tooneel (sandiwara), yang ikut memengaruhi lahirnya sandiwara rakyat semacam ketoprak. Pada masa sebelum kemerdekaan, seni semacam ini di Indramayu awalnya disebut setoprak, kemudian ada juga yang menyebutnya “masres” dan sejak dekade 1970an lebih dikenal dengan sebutan sandiwara. “Ihwal penyebutan setoprak merupakan logat lidah wong Dermayu untuk penyebutan seni ketoprak,” kata budayawan Dermayu, penulis

buku “Budaya Dermayu” dan “Sisi Gelap Sejarah Indramayu”, Supali Kasim. “Akan halnya sebutan masres, sesungguhnya merupakan sebuah nama kelompok di daerah Bedulan/Suranenggala Kabupaten Cirebon. Lama kelamaan masyarakat menyebut kesenian tersebut sebagai masres”.

Baca Juga:Warna Baru New Honda Scoopy 2022Honda Scoopy Bos !!

Penamaan lain asal usul “masres” pernah di sampaikan “Raja Tarling” H. Abdul Adjib (alm), berasal dari nama benang dalam membuat kelir atau layar. Layar pembuka sandiwara rakyat ini bermacam-macam. Ada yang merah, kuning, hijau, maka masyarakat pun menyebutnya

dengan penyesuaian kelir tersebut, seperti masres abang (merah), masres ijo (hijau) dan masres kuning. “Sudah menjadi salah kaprah dalam sebutan, seperti sebutan pada merek air mineral atau jean, masyarakat menyebutnya mereknya, bukan nama bendanya,” ujar H. Abdul Adjib dalam diskusi di berbagai tempat saat masih aktif berkesenian

Tahun 1960 dan 1970an merupakan masa keemasan jenis sandiwara rakyat ini. “Di sepanjang jalur jalan raya Pantura Dermayu, deretan nama-nama sandiwara, seperti Chandra Kirana, Langensari, Tjenderawasih dan lainnya seakan bersaing menawarkan

kelompoknya untuk ditanggap,” ujar budayawan Dermayu lainnya, Nurochman Sudibjo dalam suatu perjalanan di sepanjang Pantura bersama penulis.

Fenomena yang sama terjadi pula di sepanjang jalar Pantura Kabupaten Cirebon. Dari perbatasan Krangkeng Indramayu hingga Desa Kalisapu Kabupaten Cirebon

berjajajar pula nama-nama grup sandiwara, seperti Budi Suci, Budi Dharma dan sebagainya. Kini, seperti juga kata Nurochman, papan nama atau plang-plang sandiwara rakyat itu telah berganti dengan nama jenis kesenian lain, seperti organ tunggal, grup dangdut dan sebagainya.

Karakteristik masyarakat pantura yang keras, ternyata berubah drastis menjadi ekspresi seni dalam bentuk kelembutan, kewibawaan dan kearifan saat mereka bermain di atas panggung atas tanggap tuan hajat. Gelar “raja sewengi” atau “begal sewengi” telah menjadi fenomena kebanggaan bagi para pemeran lakon-lakon tersebut.

0 Komentar