“Cakrabuana adalah figur transformatif dalam sejarah Cirebon. Ia adalah pemimpin yang merintis berdirinya pemerintahan di Cirebon, menjembatani antara Pajajaran dan Islam, serta dikenal sebagai tokoh yang adil, visioner, dan dekat dengan rakyat. Nama ini sangat cocok dijadikan simbol pemerintahan,” ujarnya.
Lebih jauh, Bambang juga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membuka ruang dialog publik yang inklusif dalam proses penamaan ini. Ia menekankan bahwa masyarakat Cirebon berhak didengar suaranya, karena gedung tersebut akan berdiri di tanah mereka dan akan menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat Cirebon.
“Kita harus membuka forum diskusi yang melibatkan semua pihak—sejarawan, budayawan, tokoh agama, hingga masyarakat umum. Jangan sampai keputusan besar ini diambil tanpa partisipasi publik. Kita ingin gedung ini tidak hanya megah secara fisik, tapi juga kokoh secara makna dan nilai,” pungkasnya.
Baca Juga:Mitos Perkutut dan Dunia Gaib, Menyembunyikan Kekuatan Gaib? Artikel Ini yang Akan Membuat Anda Geleng-geleng!Cuma Scan Mata, Dapat Kripto? Ini Fakta Aplikasi Worldcoin! Ini Profil Pendirinya
Polemik penamaan Gedung Jaya Dewata ini membuka ruang perbincangan yang lebih luas soal pentingnya memperkuat identitas lokal dalam setiap aspek pembangunan, termasuk simbol-simbol negara. Bagi masyarakat Cirebon, sejarah dan budaya bukan hanya soal masa lalu, tapi juga fondasi masa depan. Dan dalam konteks ini, nama “Cakrabuana” menjadi lebih dari sekadar pilihan—ia adalah representasi jati diri. (dri)