Tahamata datang bukan dengan koper penuh janji. Ia datang dengan mata tajam dan hati yang masih menyimpan kenangan nenek moyangnya. Ia tahu, sepak bola Indonesia lebih sering dipenuhi teriakan daripada visi. Lebih sering debat posisi pemain ketimbang membangun sistem.
Tapi justru di negeri semacam ini, dongeng dibutuhkan lebih dari data statistik. Dan Simon, dengan segala absurditas kita, datang bukan untuk menertawakan, tapi untuk membantu.
Akhir Kata: Antara Cinta, Kritik, dan Asa
Ada yang sinis berkata: “Pemain top Eropa datang, lalu apa? Kita butuh sistem, bukan simbol.” Tapi justru di balik wajah kalem Simon Tahamata, ada harapan bahwa kita tak lagi menjadikan sepak bola nasional sebagai tempat magang politisi atau selebriti gagal.
Baca Juga:Ciro Alves dan Persib: Sebuah Perpisahan yang Menggetarkan HatiBPPMHKP Cirebon Genjot Sertifikasi Suplier Bahan Baku Ekspor Ikan ke Uni Eropa
Mungkin Simon akan gagal. Mungkin bakat-bakat yang ia temukan akan kembali dikalahkan oleh “anaknya si ini” atau “ponakannya yang itu.” Tapi setidaknya, kita telah memanggil seseorang yang tahu caranya menghormati bola. Yang tak hanya bisa melihat siapa yang cepat, tapi siapa yang punya nyali dan nurani.
Dan kalau nanti Indonesia benar-benar menemukan Messi-nya di NTT, atau Modric-nya dari Bone, maka sejarah akan mencatat:
Itu karena Simon melihatnya terlebih dahulu—bukan karena trending di TikTok.
Selamat datang, Simon Tahamata. Garuda menunggu. Tapi jangan terlalu berharap pada keajaiban.
Karena di sini, sering kali yang mustahil justru dijadikan standar.