RADARCIREBON.TV — Ketika para pejabat PSSI biasanya sibuk menambal lubang-lubang krisis dengan konferensi pers dan jargon-jargon berkekuatan dewa, kali ini mereka memilih sesuatu yang lebih radikal: akal sehat. Dan dari balik kabut itu, muncullah nama Simon Tahamata—mantan penggiring bola lincah Timnas Belanda yang kini pulang, bukan untuk bermain, tapi mencari harapan.
Anak Maluku dari Negeri Kincir Angin
Simon Tahamata bukan hanya pemain. Ia adalah dongeng hidup. Lahir di Belanda dari darah Maluku yang pekat, Simon berlari kencang dalam jalur penuh tanjakan. Tahun 1979, saat banyak anak Indonesia baru belajar menendang bola plastik di lapangan berdebu, Simon sudah menggiring bola di lapangan hijau Amsterdam ArenA, berdampingan dengan legenda Eropa. Ia mencetak gol untuk Oranje, berdansa di Liga Belgia, dan menyulap bola di Ajax.
Dan kini, di 2025—saat sebagian fans Indonesia masih sibuk berdebat apakah pemain naturalisasi lebih cinta Garuda atau gajinya—Simon kembali, bukan untuk berteriak, tapi untuk mengamati dalam diam. Karena dia bukan pelatih. Dia adalah pencari keajaiban.
PSSI dan Ritual Baru: Menemukan Bakat, Bukan Koneksi
Baca Juga:Ciro Alves dan Persib: Sebuah Perpisahan yang Menggetarkan HatiBPPMHKP Cirebon Genjot Sertifikasi Suplier Bahan Baku Ekspor Ikan ke Uni Eropa
22 Mei 2025, Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengumumkan Simon Tahamata sebagai Head of Scouting Timnas Indonesia. Jabatan sakral yang dulu terdengar seperti istilah keren untuk tukang pantau di tribun kini mendapat jiwa baru. Bukan sekadar memantau pemain viral di YouTube atau yang punya followers 100K, tapi menggali talenta sejati—entah itu di tanah Papua, kampung Minang, atau lorong sempit Bekasi.
Erick, dalam pernyataan diplomatisnya, berkata:
“Ayo Simon, mari kita buat keajaiban.”
Sebuah ajakan yang terdengar seperti permohonan halus dari seorang yang tahu: Indonesia tidak butuh sulap, tapi keajaiban nyata—dan Simon mungkin satu dari sedikit manusia yang bisa membedakan keduanya.
Misi Mustahil? Mungkin. Tapi Ini Simon.
Bayangkan: Seorang legenda Belanda yang pernah mencetak gol ke gawang Soviet, kini duduk di pinggir lapangan SSB lokal, memperhatikan anak 14 tahun menggiring bola tanpa sepatu. Ini bukan sinetron. Ini Indonesia.
Tahamata datang bukan dengan koper penuh janji. Ia datang dengan mata tajam dan hati yang masih menyimpan kenangan nenek moyangnya. Ia tahu, sepak bola Indonesia lebih sering dipenuhi teriakan daripada visi. Lebih sering debat posisi pemain ketimbang membangun sistem.
Tapi justru di negeri semacam ini, dongeng dibutuhkan lebih dari data statistik. Dan Simon, dengan segala absurditas kita, datang bukan untuk menertawakan, tapi untuk membantu.
Akhir Kata: Antara Cinta, Kritik, dan Asa
Ada yang sinis berkata: “Pemain top Eropa datang, lalu apa? Kita butuh sistem, bukan simbol.” Tapi justru di balik wajah kalem Simon Tahamata, ada harapan bahwa kita tak lagi menjadikan sepak bola nasional sebagai tempat magang politisi atau selebriti gagal.
Mungkin Simon akan gagal. Mungkin bakat-bakat yang ia temukan akan kembali dikalahkan oleh “anaknya si ini” atau “ponakannya yang itu.” Tapi setidaknya, kita telah memanggil seseorang yang tahu caranya menghormati bola. Yang tak hanya bisa melihat siapa yang cepat, tapi siapa yang punya nyali dan nurani.
Baca Juga:Resmi! Patrick Kluivert Panggil Beckham Putra ke Timnas Indonesia Gantikan Septian BagaskaraCirebon Siap Jadi "Markas Resmi" Migran Legal, Bukan Calon Korban Calo Internasional
Dan kalau nanti Indonesia benar-benar menemukan Messi-nya di NTT, atau Modric-nya dari Bone, maka sejarah akan mencatat:
Itu karena Simon melihatnya terlebih dahulu—bukan karena trending di TikTok.
Selamat datang, Simon Tahamata. Garuda menunggu. Tapi jangan terlalu berharap pada keajaiban.
Karena di sini, sering kali yang mustahil justru dijadikan standar.